Jumat, 20 April 2012, aku dan
kawan-kawan X5 berhasil membuat kami semua akhirnya mendapat tugas menggarap
tulisan ini. Tugas yang sangat asing dan langka bagi pelajar yang sebenarnya
tidak bandel, seperti kami. Ini kali pertama bagiku dan teman-teman menulis
tentang “Kedisiplinan, Ketertiban dsb” sebanyak minimal 5 halaman folio. Dan
yang mungkin paling tidak disukai oleh semua anak adalah tugas ini harus:
DITULIS TANGAN!
Kelas X5 tahun ajaran ini bagi kami adalah
kelas yang kompak dan tersolid dari kelas-kelas lain (mungkin siswa kelas lain
juga menganggap kelas mereka begitu). Kami kerap melakukan sesuatu bersamaan,
termasuk yang kami lakukan di hari Jumat kemarin: MEMBOLOS! Bisa dibilang bukan
membolos, tetapi ‘cabut dari sekolah setelah sebelumnya sempat berangkat ke
sekolah’.
Itulah maksud judul tulisanku kali ini.
Memang, kesetiakawanan itu baik dalam menjalin persahabatan, termasuk juga
dengan teman sekelas. Tetapi membolos bukanlah hal yang baik untuk dilakukan,
sekalipun itu atas dasar ‘kesetiakawanan’. Ya, rasanya semua orang juga tahu
membolos adalah pelanggaran terhadap tata tertib, apapun instansinya. Membolos
dan kemudian mendapat tugas menulis seperti ini adalah pengalaman berharga
bagiku. Aku tak menganggapnya sebagai cobaan atau ujian atau penyikasaan, dsb.
Aku mencoba menikmatinya dan berjanji dalam hati agar tidak mendapatkan tugas
seperti ini. Tapi, kalau tadi sudah dijelaskan bahwa X5 bukan kelas bandel,
mengapa X5 membolos ? Begini ceritanya:
Di hari Jumat yang ‘kecepit’ itu, 23
penghuni X5 berangkat ke sekolah untuk mengikuti kegiatan belajar-mengajar
seperti biasa. Hari ‘kecepit’? Ya, hari Jumat kali itu adalah satu-satunya hari
dimana kami harus berangkat ke sekolah setelah libur 4 hari karena kakak-kakak
kelas XII menghadapi UN, dan di hari Sabtu adalah libur di Lab School. Sehari
sebelumnya aku sudah menduga bahwa di hari Jumat itu sekolah akan sepi, karena
siswa lain ‘bablas’ liburan seminggu. Dugaanku benar, kelas-kelas lain
benar-benar sepi. Kurang dari 10 orang yang berangkat di kelas lain, kecuali X5
dan X4 kurasa. Otomatis proses belajar-mengajar di kelas-kelas ‘nakal’ itu
tidak berjalan optimal. Bahkan, banyak dari antara mereka yang akhirnya kabur
dari sekolah, sehingga guru pun tak mengajar di kelas mereka dengan siswa yang
tersisa sangat sedikit, berbeda dengan X5 yang diisi 23 siswa kala itu.
Di X5, proses belajar-mengajar tetap
dilakukan, normally. Hal inilah yang
membuat seisi kelas mendadak tidak mood
untuk mengikuti kelas. Kami sempat mengikuti pelajaran Bahasa Inggris dan
Sejarah sebelum Istirahat I dan Matematika setelahnya. Kami sudah berniat untuk
kabur dari sekolah sejak pagi, tapi kami tak berani menghindari pelajaran wali
kelas kami, Matematika. Akhirnya, kami baru benar-benar memantapkan niat kami
untuk keluar dari kelas seusai Matematika. Bu Jatu keluar kelas, 5 menit
berlalu dan guru selanjutnya belum masuk. Akhirnya kami melempar tas kami
keluar jendela, dan loncat keluar melalui jendela untuk menghindari guru yang bisa
saja kami temui jika kami kabur lewat koridor.
Proses ‘minggat’ sukses! Kami sangat
senang bisa keluar dari ‘ketidakadilan’ bagi kami itu. Tapi rasa deg-degan juga
menyelimuti kami. Aku tidak pernah membolos sebelumnya, otomatis ada perasaan
janggal ketika keluar dari pintu GOR dan beranjak pergi dari sekolah bukan pada
waktu pulang sekolah. Untuk menenangkan diri, akhirnya aku dan kawan-kawan
sekelas pergi ke rumah Karin yang tak jauh dari sekolah, yang kebetulan juga
warung makan. Kami makan dan minum sambil mencoba memperkirakan apa yang akan
kami dapatkan di hari Senin. Teguran kah? Amukan kah? Atau tak mendapatkan
apa-apa? Itu harapan kami.
Tapi akhirnya aku sadar, apa yang kami
lakukan(membolos) bukanlah hal yang baik. Lari dari tanggung jawab sebagai
pelajar, benar-benar bukan tindakan terpuji. Sepulang dari rumah Karin, kami
berpisah. Ada yang pulang ke rumah, main game
online, makan siang di kafe, dan nongkrong di kampus. Nongkrong di kampus?
Bagaimana jika guru lewat dan menegur? Yang ada dalam pikiranku dan teman-teman
adalah: kami memakai baju bebas di hari Jumat, orang-orang pasti mengira kami
mahasiswa, bukan anak SMA.
Ya, aku, Bram, Hadi dan Jordi beranjak
pergi ke kampus dengan maksud ingin menonton Pekan Olahraga Mahasiswa di
lapangan basket kampus. Tak menemukan apa yang kami cari, kami malah bertemu
anak kelas lain yang kabur dari sekolah dan beristirahat di lapangan basket
kampus. Sebelumnya aku dan Bram sudah mengetahui rencana anak-anak OSIS yang
akan berjualan minuman di GOR sekolah untuk mencari dana untuk Prom Night. Aku
dan Bram ingin turut serta membantu mereka, karena kami juga panita Prom Night. Akhirnya, kami dan Hadi dan Jordi
ke GOR sekolah.
Di sana kami menemui kakak-kakak kelas
yang sedang sibuk mempersiapkan dagangan mereka. Aku sempat membeli segelas
minuman di stand itu. Hingga akhirnya
datang seseorang berkemeja hijau datang dari arah pintu GOR atas à Pak Agus. Pak Agus mengetahui
keadaan kelas kami yang sekarang kosong. Spontan, beliau menyuruh kami berempat
untuk mengikuti pelajaran Kimia yang adalah pelajaran terakhir di hari itu.
Dengan berat hati, kami masuk ke kelas dan duduk diam di dalam. Beruntung hari
itu Pak Jumadi hanya sharing dan
tidak memberikan materi Kimia yang njlimet.
Kami dipulangkan pukul 14.00 WIB. Kami
berempat kembali ke stand yang ada
dekat GOR. Tiba-tiba, Dian yang sebelumnya juga ikut membolos dengan kami
datang dengan sudah mengenakan pakaian basketnya. Dia menghampiriku dan
memarahiku karena aku dianggapnya sebagai pengkhianat. Bagaimana bisa? Itu
karena aku kembali ke sekolah untuk mengikuti pelajaran tanpa mengajak
teman-teman yang lain. Padahal, itu bukan maksudku kembali ke sekolah. Aku dan
3 teman lain ketahuan oleh Pak Agus. Sulit menjelaskannya pada Dian yang pada
saat itu sedang terbakar emosi.
Lalu aku pulang ke rumah, seperti biasa
dengan kendaraan umum. Setiba di rumah, aku langsung mengoneksikan internet
dengan netbook. Aku mencoba
menjelaskan kejadian hari itu di grup Facebook
kelas, agar tidak ada kesalahpahaman tentang statusku saat itu sebagai
‘pengkhianat’. Akhirnya teman-teman bisa menerimanya, dan cap pengkhianat pun
lepas dariku. Saat itu aku berjanji pada teman-teman: jika mereka mendapat
hukuman dari sekolah, aku dan teman-teman yang kembali ke sekolah juga akan
mengerjakannya dan berkata jujur bahwa kami juga membolos, eh, minggat.
Begitulah jalan cerita bagaimana kami
sekelas bisa terlibat dalam tugas yang bikin pegel ini. Aku dan teman-teman
sangat menyesal. Aku berjanji untuk tidak melakukannya lagi, sekalipun hanya
tersisa aku di kelas. Ini membolos yang pertama dan terakhir bagiku.
Kedisiplinan , ketertiban dan ketaatan
memang seharusnya melekat pada diri setiap seorang pelajar. Sudah pasti guru
dan orangtua mengajarkannya pada kami. Namun berat bagi pelajar untuk menahan
godaan untuk membolos jika keadaannya seperti yang ada di hari Jumat itu.
Papakuku pun mengakuinya, jika memang berat menahan godaan untuk bolos jika
sekolah sepi seperti itu. Tapi Papa sebagai salah satu orang yang kuteladani
mengatakan bahwa “Wajar jika anak SMA melakukannya, itu masih kenakalan remaja
bukan kejahatan. Namun, bukan berarti anak SMA harus pernah membolos. Tak
apalah kamu(aku) melakukannya, tapi jangan diulangi lagi. Cukup sekali, dan
jadikan itu pelajaran dan pengalaman berharga bersama teman-teman SMA-mu.”
Dan yang aku dapatkan atas pengalaman
berharga ini adalah sekalipun aku sudah melakukan sesuatu baik itu benar maupun
salah, aku harus bersedia bertanggung jawab atas perbuatanku itu, konsekuen
menerima segala resiko yang ada. Aku juga sekarang merenung, kenapa aku harus
kabur dari sekolah yang bagus itu, padahal di luar sana masih banyak
saudara-saudara seumuran yang ingin sekolah? Jangan sia-siakan kesempatan dan
waktu yang ada padamu, Tyo!
andapintarsayakoplo
Radit bin Dwiprasetyo
No comments:
Post a Comment