Wednesday, January 18, 2012

Cerpen Pertama

Ga cuma blogging, gue juga bisa bikin cerita loh ! (lha so -_-)
Ini juga cerita gue dan temen-temen bikin karena tugas guru Bahasa Indonesia yang mewajibkan kita membuat cerita pendek sesuai dengan judul dan kerangka yang beliau buat. Gue rasa cerita ini cocok dijadiin FTV di SCTV, film banget dah :D
Cekidot !

 CINTA PERTAMA (judul dari guru)
Hari ini tanggal 29 November 2012. Anakku, Retno Palupi akan dilamar kekasihnya.  Aku tidak menyangka bahwa anak semata wayang yang telah kubesarkan selama 25 tahun ini akan segera pergi meninggalkanku. Rasanya baru kemarin ia merengek meminta boneka koala yang sama seperti yang dibeli temannya di Australia. Nyatanya dia sudah bukan Retno kecil lagi. Ia telah lulus berguru di Fakultas Ekonomi UKSW Salatiga, kota kelahirannya, dan telah bekerja di BNI di sana. Aku benar-benar bahagia. Retno akan segera mendampingi lelaki yang sangat amat dicintai dan mencintainya, yaitu cinta pertamanya.
    Aku jadi teringat saat aku bertemu dengan cinta pertamaku kala SMA. Saat itu aku dan keluargaku berlibur ke Puncak. Kami menginap di sebuah villa yang memang hampir setiap tahun kami singgahi. Begitu pula dengan keluarga yang singgah di villla sebelah.
    Suatu malam yang dingin, aku beranjak keluar dari villa. Langit malam itu begitu indah dihiasi bintang-bintang yang gemerlapan. Baru saja aku menyandarkan tubuhku di kursi taman, seorang lelaki muda menyapaku. Kata-katanya lembut, dan dia juga tampan.

    ‘Malam mbak. Kok malam-malam keluar?’, tanyanya.

    ‘Iya mas. Bosen dalam villa terus. Mas sendiri ngapain keluar?’

    ‘Itu tuh, ke warung kopi di ujung sana. Masuk ke dalam saja mbak daripada kedinginan.’

    Lalu ia beranjak pergi ke arah warung kopi yang cukup ramai di ujung jalan. Aku melangkahkan kaki kembali ke dalam villa. Dan semenjak itu, aku merasa ada yang berbeda dengan dirinya, dia yang menyapaku malam itu. Aku ingin mengenalnya lebih jauh lagi, pikirku saat itu.
    Keesokan harinya di hari Minggu, aku dan keluargaku mengikuti kegiatan memanen teh yang juga diikuti keluarga lain. Seluruh peserta kegiatan dibagi menjadi kelompok-kelompok kecil. Aku dan keluargaku terbagi dalam kelompok yang berbeda, begitu pula dengan keluarga lain. Ternyata aku dan lelaki yang belum kuketahui siapa namanya sejak malam itu tergabung dalam satu kelompok. Semenjak itulah kami menjadi akrab. Bahkan karena kami begitu asyik memanen teh dan bercanda bersama, aku belum mengetahui siapa namanya, begitu sebaliknya. Sampai kemudian keadaan menjadi hening sejenak.

    ‘Oh iya, aku Priyono. Nama kamu siapa?’, katanya lembut.

    ‘Suhestri.’, jawabku singkat.

    Aku tak bisa berkata-kata lagi. Kurasa aku jatuh cinta padanya. Ya, dia, Priyono, cinta pertamaku.

Seusai liburan, aku kembali ke kesibukanku di kota kembang, Bandung. Aku masih sangat mengingat Priyono yang baik itu. Tapi kami tak sempat bertukar alamat untuk berkirim surat. Sampai suatu sore Pak Pos membawakan sesuatu untukku. Sebuah surat beramplopkan kertas putih dengan perangko bergambar bunga mawar. Itu surat dari Priyono! Aku senang sekali mendapatkannya. Senangnya lagi, ia mengajakku untuk mengobrol di sebuah kafe di daerah Dago lusa.
2 hari kemudian Priyono datang ke rumah untuk menjemputku. Kami segera berangkat ke kafe favoritnya itu. Setelah kami berjalan menyusuri keindahan Bandung malam, kami tiba di sebuah kafe yang tak terlalu besar, tetapi suasananya romantis. Aku ingat betul suasana malam itu. Pelayan datang, kami hanya memesan kentang goreng dan segelas susu hangat untuk kami berdua. Menunggu pesanan datang, tiba-tiba Priyono menggenggam tanganku.

‘Hestri, aku menyayangimu. Maukah kau menjadi pendamping setiaku?’, katanya.

Tentu aku mengiyakannya, dan semenjak itu aku menjalin hubungan spesial dengan Priyono, lelaki idamanku.

Setelah dua tahun menjalin hubungan dengan Priyono, suatu petang Ayah mengajakku untuk berbincang-bincang di teras. Kukira ini menyangkut bisnis keluarga yang baru kami rintis. Tapi bukan.

‘Nak, Ayah ingin kamu menikah dengan anak rekan bisnis Ayah, namanya Subagja.’

Aku tak tahu siapa Subagja. Aku tak tahu bagaimana kehidupannya. Tapi aku tak bisa menolak keinginan Ayah. Ayah sudah membesarkanku sejak kecil sendirian semenjak kepergian Ibu ketika aku masih balita. Dan ayah Subagja sudah begitu banyak membantu bisnis keluarga kami.
Seminggu kemudian, Subagja meminangku tanpa sepengetahuan Priyono. Dengan maksud menyenangkan Ayah, aku pun resmi menjadi nyonya Subagja, yang sampai saat ini masih kujalani hidupku bersama Subagja, mengarungi bahtera keluarga berpuluh tahun. Aku pun kini menyadari bahwa Subagja adalah suami yang baik. Aku mencintainya dengan sepenuh hatiku, tanpa paksaan.
Tiga hari kemudian Priyono mengetahui statusku yang baru saja dinikahi anak pengusaha. Aku khawatir Priyono akan sangat marah dan membenciku. Tapi aku bersyukur, Priyono merelakannya asal aku bahagia dengan Subagja. Aku bahagia dengannya. Kami dikaruniai anak yang cantik, Retno, yang hari ini akan dilamar kekasihnya.

Kini aku sedang duduk berdampingan dengan suamiku, menanti kedatangan calon besan kami. Aku sudah tak sabar untuk segera bertemu mereka. Entah mengapa pikiranku melayang kembali pada masa lalu, masa bersama Priyono. Anakku akan dilamar cinta pertamanya, sedangkan aku? Terakhir bertemu dengannya pun puluhan tahun lalu. Retno yang cantik, cerdas dan agak manja akan dilamar oleh cinta pertamanya, Priyanto, mirip dengan nama cinta pertamaku, Priyono.
Hampir satu jam kami menunggu, berhentilah sebuah mobil di depan rumah kami. Penumpang mobil itu mulai turun satu per satu. Seorang lelaki muda yang adalah Priyanto, seorang gadis cantik yang adalah adik Priyanto, seorang wanita yang kurasa sebaya denganku yang adalah ibu Priyanto, dan seorang laki-laki yang wajahnya tak asing bagiku yang kurasa adalah ayah Priyanto.
    Kucoba untuk mengingat-ingat dimana aku pernah melihat wajah itu. Pikiranku kembali terbang ke masa lalu. Saat dimana aku berlibur ke Puncak, saat suatu malam seorang lelaki menyapaku, saat dimana aku mendapatkan surat dari cinta pertamaku, dan ketika aku makan berdua dengan lelaki dengan wajah seperti ayah Priyanto di sebuah kafe. Ya, dia adalah Priyono, cinta pertamaku, yang ternyata adalah ayah Priyanto, yang akan menjadi mertua Retno anakku, dan yang akan menjadi besanku. Subagja juga berbisik padaku mengatakan bahwa ibu Priyanto adalah Rosita Dewi, bekas kekasih Subagja sebelum menikah denganku. Ini kebetulan, atau memang kami ditakdirkan untuk bertemu lagi dalam acara lamaran anak-anak kami?

Dramatis banget -_-

andapintarsayakoplo

Radit bin Dwiprasetyo

1 comment: